tugas retell bahasa indonesia, memperbaiki teks cerpen sman 1 singaparna


TUGAS BAHASA INDONESIA
Memperbaiki Teks Cerpen


 
Oleh :
Muhamad Fajrian Darisman
Utari Yulia Gustini

SMA NEGERI 1 SINGAPARNA
Jl. Pahlawan KHZ. Musthafa Singaparna Tasikmalaya 46416
Telp. (0265) 545 203 Fax. (0265) 541499
2015/2016


Penyesalan Marni
By : Humam S. Chudori
Sejak di PHK, Hiwaman sering dirawat di Rumah Sakit, penyakit asma yang dideritanya sering kambuh. Padahal sebelum kena PHK himawan jarang dirawat di Rumah Sakit, sementara Marni juga mengalami nasib yang sama dengan suaminya, keuangan rumah tangganya mulai tergoncang.
‘’ Jadi orang itu jangan penyakitan,’’ kata Marni, sepulang Himawan dari rumah sakit setelah kesekian kalinya ia dirawat.
 Hiwaman hanya terdiam. Betapa tidak, baru dua langkah pasang suami-istri itu masuk kedalam rumah, Marni sudah melontarkan kalimat ketus
” Kalau sudah begini, apalagi lagi yang harus dijual ?”.
Himawan tak menyahut, hatinya terasa sakit mendengar kata-kata istrinya. Rasanya Himawan ingin mendaratkan tamparan ke muka perempuan itu jika tidak menghiraukan kondisi tubuhnya yang masih lemah.
Sebetulnya himawan ingin langsung beristirahat di kamar. Namun setelah mendengan kata-kata istrinya, tubuhnya langsung lemas, gemetaran, limbung dan matanya seperti berkunang-kunang, kepalanya terasa nyut-nyutan. Ia kehilangan tenaga untuk melangkah ke kamar. Karena itu, ia langsung duduk di atas tikar di ruang tamu.
Rumah itu memang sudah lama tidak berkursi lagi, mereka juga telah menjual beberapa perabotan lain seperti televisi, kulkas dan bupet, sejak tak ada meja dan kursi tamu, di ruangan yang tidak terlalu luas itu hanya ada selembar tikar plastik yang tak pernah digulung.
            Watak asli Marni baru disadari Himawan setelah anak pertama mereka lahir. Semula sifat buruk istrinya dianggap Himawan sebagai bawaan jabang bayi, lantaran istrinya nyaris tidak mengalami kekosongan, setelah dua bulan dinikahi Himawan, sikap dan kelakuan marni sudah berubah.
Ketika berhenti haid, Himawan menganggap kelakuan perempuan itu berubah karena mengalami fase ngidam. Himawan menyadari orang yang sedang ngidam akan seperti ini, emosinya labil. Itulah sebabnya lelaki ini berusaha untuk tidak tersinggung. Dia sendiri sangat berharap secepatnya menpunyai keturunan lantaran terlambat menikah.
Bukan pertamakalinya Himawan mendengar mendengar cerita tentang kelakuan orang ngidam yang berubah menjadi manja. Meski pada umumnya orang ngidam cuma ingin makan yang serba pedas atau masam. Kebiasaan orang ngidam seringkali menjadi aneh, bahkan tidak jarang membuat suaminya kesal.
Ketika Erna yang merupakan adik Himawan sedang ngidam, bukan hanya sekali menyuruh suaminya membelikan bakso di tengah malam, Widodo pun mengabulkan permintaan Erna istrinya, ia terpaksa mencari makanan yang diminta ‘jabang bayi’.
Namun alangkah kesalnya lelaki itu setelah sampai di rumah. Erna hanya mencicipi sesendok kuahnya. Makanan yang diperoleh dengan susah payah itu tidak disentuh sama sekali. Celaka jika permintaan Erna tidak dituruti, ia akan marah-marah kepada suaminya, meskipun demikian Widodo tak menolak perminataan ‘sang jabang bayi ’, memang tidak sedikit orang ngidam tidak berubah kelakuaanya.
Andaikata tidak memikirkan masa depan anak, barangkali Himawan sudah menceraikan istrinya, ia sudah merasakan sendiri betapa tidak enaknya menjadi korban penceraian orangtua, lantaran ia dan dua orang  adiknya memang hasil dari rumah tangga yang berantakan.
Ketika masih kerja Marni berkata kepada Rita tetangga depan rumahnya, kalau dirinya tidak bekerja kebutuhan rumah tangganya pasti takkan pernah tercukupi.
“ Berapa sih gaji seorang sopir seperti suami saya? ” kata Marni, tatkala mereka belum di PHK, seraya mengeluh kepada Rita usai menceritakan penghasilannya.
“ Sama saja Mbak, “ kata Rita, jika tetangga depan rumahnya sudah berkata demikian
“ Suami saya juga sopir. “
“ Biar sopir tapi sopir kedutaan besar, pasti gajinya besar karena itu kamu tidak perlu bekerja lagi seperti saya. “
Apabila Marni sedah membicarakan penghasilan suaminya, Rita berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Kala itu baik Himawan maupun Marni masih bekerja dan mendapat penghasilan. Namun, setelah di PHK Marni tak berani lagi menbicarakan gajinya. Ia tak pernah membanggakan penghasilannya.
Walaupun demikian, ternyata Marni masih merasa lebih hebat dari para tetangganya yang tidak bekerja, ia memang sering melecehkan wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga, karena itu tak ada tetangga yang mau dekat dengan Marni, kecuali Rita.
Sejak di PHK, Marni tidak pernah melamar kerja lagi. Karena, ia sudah tak mungkin bekerja lagi, pertama karena faktor usia yang sudah melewati kepala empat, juga pendidikan pas-pasan, hanya ijazah SLTA dan tidak punya ijazah lain.
Dan pengalaman kerjanya tidak bisa digunakan sebagai referensi mencari pekerjaan lain, sebab pekerjaanya hanya sebagai pemandu penonton bioskop. Ya, tugas Marni di tempat kerjanya hanyalah mengantar penonton ke kursi sesuai dengan nomor karcisnya. Sementara itu sudah banyak bioskop yang tidak mampu bertahan dan tidak beroprasi sehingga menghentikan usahanya.
Untungnya Ayah Himawan meninggalkan warisan untuk anak-anaknya, yaitu sebuah rumah yang kini dikontrakan. Dari hasil kontarakan itulah keluarga himawan berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari selama belum mendapatkan pekerjaan lagi, meskipun tidak mencukupi.
“ Kalau sudah begini apalagi yang masih bisa dijual Mas? “.Marni mengulang pertanyaan sebelumnya.
Himawan tak melontarkan sepatah kata pun. Himawan masih duduk dan terdiam selagi mengatur napasnya.
“ Orang ditanya istri kok diam saja. “ ujar sang istri
“ Rumah warisan bapak masih ada “ jawab  himawan dengan lemah. “ Jika nanti kurang ya rumah ini kita jual.”
Marni terdiam.
“ Kalau bukan rumah itu apalagi, coba pikir? Jual perabotan, perabotan apa yang masih bias dijual? Tikar atau bantal? Jual tenaga? Nyatanya kita sudah tidak bisa bekerja? Bukankah itu artinya kita sudah tak laku? ” Kali ini Himawan sudah tidak kuasa menahan kekesalanny,. suaranya gemetar.
“ Mas! “ teriak Marni.
“ Atau kamu mau jual diri? Jual diri kamu juga sudah tak laku. Kamu sudah tua……”
Himawan tak mampu melajutkan kalimatnya, nafasnya sesak. Dia terjatuh dan tubuhnya kejang-kejang, mulutnya terkatup rapat, nafasnya berhenti.
Dengan berbata-bata Marni menceritakan kematian suaminya kepada Rita yang merupakan tetangga depan rumahnya, Marni menyesal tatkala menceritakan kematian suaminya.
“ Andaikata akan begini jadinya “ Marni tak melanjutkan kalimatnya.
“ Ya, sabar Mbak. Barangkali itu semua sudah ditakdirkan yang Maha Kuasa “
“ Masalahnya bukan itu , Rita. Almarhum masih meninggalkan utang kepada saudara-saudara saya. Ya, selama ini biaya rumah sakit sudah tidak ditanggung kantor. Lha wong Mas Himawan sudah tidak kerja. Memotong pembicaraan Rita
Rita terdiam.



“ Untungnya, dulu saya juga kerja. kalau tidak, bisa-bisa utang almarhum bias jadi dua kali lipat. Selama ini saya yang menanggung biaya keluarga. Gaji suami selama ini habis untuk biaya berobat. Di kantornya, Mas Himawan hanya mendapat ganti sebagian dari biaya yang dikeluarkan. Itu pun tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya yang harus kami tanggung selama ini. Sebab, tiap bulan Mas Himawan harus berobat. Telambat berobat, ia harus dirawat,” Lanjut Marni dengan berapi-api.
 Rita tetap terdiam.
“ Coba kalau saya tidak pernah bekerja, apa tidak… “
“ Maaf, “ Rita memotong pembicaraan Marni, “ perut saya sakit, saya harus buang air. “

Dengan tergesa-gesa Rita pulang, ia tidak ingin lagi mendengar perkataan Marni lagi, kedatangan Rita ke rumah Marni pada malam itu, semula hendak menghibur tetangganya yang belum lama ditinggal suaminya. Namun, setelah mendengar kata-kata Marni, Rita justru merasa muak, bahkan kesal.
           Yang disesalkan Mbak Marni ternyata bukan kematian suaminya, tapi karena almarhum masih meninggalkan hutang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

laporan uji urine lengkap,

tugas bahasa sunda bajidoran

kimia korosi, jenis korosi dan reaksi kimianya